PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DI ERA GLOBAL

Teknologi Komunikasi dalam masyarakat Dan Pemahaman Terhadap Ilmu Pengetahuan

Pendahuluan
Sejak istilah apa yang disebut masyarakat informasi diperkenalkan pada tahun 1962, perdebatan ramai mengenai apa dan bagaimana dampak information society atau masyarakat informasi terus berlanjut sepanjang garis kontinum dengan berbagai dimensi yang berbeda. Secara umum, masyarakat informasi mengacu pada suatu masyarakat dimana produksi, distribusi, dan pengolahan informasi merupakan aktifitas utamanya (Anonimus, 2006).
Perkembangan peradaban manusia terasa begitu cepatnya, kita tentunya mengenal masyarakat primitif, pada era itu seseorang untuk mendapatkan suatu barang harus ditukar dengan barang lagi (barter), kemudian meningkat ke masyarakat agraris, kemudian masyarakat industri. Dari masyarakat indusri loncat ke masyarakat informasi (era informasi). Mengapa dikatakan loncat ke masyarakat informasi ? karena kita baru memulai melangkah ke masyarakat industri, era informasi sudah datang.
Dengan era informasi ini, semuanya menjadi serba yaitu serba murah, cepat, tepat, dan akurat. Teknologi Komunikasi mutaakhir telah menciptakan apa yang disebut “publik dunia”. Bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi ini, meningkat pula kecemasan tentang efek media massa terhadap masyarakat (khalayak). Di era globalisasi saat ini media massa mempunyai peranan penting dalam membentuk pola hidup masyarakat. Media menjadi patokan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, terutama bagi masyarakat informasi, mereka dengan mudah dapat mengakses segala informasi yang mereka butuhkan.



Pengertian Masyarakat Informasi
Information society atau masyarakat Informasi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah masyarakat dan sebuah ekonomi yang dapat membuat kemungkinan terbaik dalam menggunakan informasi dan teknologi komunikasi baru (new information and communication technologies(ICT’s)).
Dalam masyarakat informasi orang akan mendapatkan keuntungan yang penuh dari teknologi baru dalam segala aspek kehidupan:Di tempat kerja, di rumah dan tempat bermain. Contoh dari ICT’s adalah: ATM untuk penarikan tunai dan pelayan perbankan lainnya, telepon genggam(handphone), teletext television, faxes dan pelayan informasi seperti juga internet, e-mail, mailinglist, serta komunitas maya (virtual community) lainnya.
Pengertian lain dari informastion society atau masyarakat informasi adalah suatu keadaan masyarakat dimana produksi, distribusi dan manipulasi suatu informasi menjadi kegiatan utama. Jadi dapat dikatakan bahwa pengolahan informasi adalah inti dari kegiatan
Teknologi baru ini memiliki implikasi untuk segala aspek dari masyarakat dan ekonomi kita, teknologi mengubah cara kita melakukan bisnis, bagaimana kita belajar, bagaimana kita menggunakan waktu luang kita.

Ini juga berarti tantangan yang penting bagi pemerintah:
- Hukum perlu diperbaharui dalam hal untuk mendukung transaksi elektronik.
- Masyarakat kita perlu untuk dididik mengenai teknologi yang baru.
- Bisnis harus online jika mereka ingin menjadi sukses.
- Pelayanan pemerintah harus tersedia secara elektronik.

Perbedaan Masyarakat Agraris, Masyarakat Industri, dan Masyarakat Informasi Sumber daya yang diolah:
- SDA (angin, air, tanah, manusia) masyarakat agraris
- Membuat tenaga(listrik, bahan bakar) masyarakat industri
- Informasi (transmisi data dan komputer) masyarakat informasi
Sumber daya yang dibutuhkan:
 Bahan mentah / alam masyarakat agraris
 Modal masyarakat industri
 Pengetahuan masyarakat informasi
Keahlian SDM yang dibutuhkan:
 Petani, pekerja tanpa skill tertentu masyarakat agraris
 Ahli mesin, pekerja dengan skill khusus masyarakat industri
 Pekerja profesional (dengan skill tinggi) masyarakat informasi
Teknologi:
 Alat-alat manual masyarakat agraris
 Teknologi mesin masyarakat industri
 Teknologi cerdas masyarakat - SDA (angin, air, tanah, manusia) masyarakat agraris
 Membuat tenaga(listrik, bahan bakar) masyarakat industri
 Informasi (transmisi data dan komputer) masyarakat informasi
 Bahan mentah / alam masyarakat agraris
 Modal masyarakat industri
 Pengetahuan masyarakat informasi
 Petani, pekerja tanpa skill tertentu masyarakat agraris
 Ahli mesin, pekerja dengan skill khusus masyarakat industri
 Pekerja profesional (dengan skill tinggi) masyarakat informasi
 Alat-alat manual masyarakat agraris
 Teknologi mesin masyarakat industri
 Teknologi cerdas masyarakat
 informasi
Prinsip perkembangan:
o Tradisional masyarakat agraris
o Pertumbuhan ekonomi masyarakat industri
o Penerapan pengetahuan dalam teknologi masyarakat informasi
Mode produksi dalam bidang ekonomi:
 Pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan. masyarakat agraris
 Produksi, distribusi barang; konstruksi berat. masyarakat industri
 Transportasi, perdagangan, asuransi, real estate, kesehatan, rekreasi, penelitian, pendidikan, pemerintahan. masyarakat informasi
Perkembangan peradaban manusia terasa begitu cepatnya, kita tentunya mengenal masyarakat primitif, pada era itu seseorang untuk mendapatkan suatu barang harus ditukar dengan barang lagi (barter), kemudian meningkat ke masyarakat agraris, kemudian masyarakat industri. Dari masyarakat indusri loncat ke masyarakat informasi (era informasi). Mengapa dikatakan loncat ke masyarakat informasi ? karena kita baru memulai melangkah ke masyarakat industri, era informasi sudah datang.
Dengan era informasi ini, semuanya menjadi serba yaitu serba murah, cepat, tepat, dan akurat. Namun disamping itu ada sisi negatifnya, tergantung kita mau kemana melangkah. Contoh dengan era informasi ini seorang auditor dapat melakukan supervisi audit ditempat yang berbeda, melakukan transaksi bisnis melalui internet (e-commerce). Dan bisa juga menyerap informasi budaya yang jelek, yang dapat merubah perilaku dan etika seseorang.
Oleh karena itu diperlukan sikap arif dalam menyikapi era informasi ini, kita tidak boleh terjebak perdebatan dampak positif dan negatifnya era ini, yang akhirnya mandeg dan tidak berubah. Yang harus kita bangun adalah kemauan untuk merubah diri.



Mengapa Masyarakat Informasi sangat penting?
Masyarakat Informasi menghadapkan kita pada tantangan-tantangan baru dan kesempatan perkembangan-perkembangan menuju seluruh area dari masyarakat. Dampak dari teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi sebuah definisi sementara yang kuat, dan ini mentransformasi aktivitas ekonomi dan sosial. Kunci yang penting dari jaringan teknologi dalam masyarakat informasi adalah teknologi membantu kita untuk membuat koneksi-koneksi baru.
Koneksi-koneksi dimana tantangan tradisional menerima apa yang mungkin, dan ketika hal tersebut menjadi mungkin. Perkembangan masyarakat informasi telah menjadi bagian penting untuk masyarakat informasi sebagai ekonomi kecil yang terbuka di dalam pengembangan jaringan ekonomi global, dimana pengetahuan berbasis pada inovasi yang menjadi kunci sumber dari penopang keuntungan yang kompetitif.
CT sebagai sarana pembangunan ekonomi dan sosial, dan memenuhi sasaran pembangunan Information and communication technologies (ICT) adalah penting untuk terwujudnya lingkungan ekonomi global yang berpengetahuan dan oleh karenanya memainkan peran yang penting dalam mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan dan menghapus kemiskinan.
Potensi ICT untuk memberdayakan masyarakat sangat besar. Hal ini terutama dalam kasus untuk orang cacat, wanita, generasi muda dan pribumi. ICT dapat membantu membangun kapasitas dan keterampilan untuk menciptakan peluang kerja yang lebih banyak, membantu usaha kecil dan menengah, dan meningkatkan partisipasi serta menginformasikan pembuat keputusan pada setiap level melalui peningkatan pendidikan dan latihan, khususnya bila disertai dengan penghormatan sepenuhnya terhadap keanekaan bahasa dan budaya.
Inovasi teknologi dapat menyokong secara nyata untuk memberikan akses yang lebih baik kepada layanan kesehatan, pendidikan, informasi dan pengetahuan, sebagaimana juga menawarkan variasi sarana yang lebih luas dimana masyarakat dapat berkomunikasi, sehingga mendukung promosi pemahaman yang luas dan peningkatan kualitas kehidupan warga dunia.
Ciri – ciri Masyarakat Informasi
 Adanya level intensitas informasi yang tinggi (kebutuhan informasi yang tinggi) dalam kehidupan masyarakatnya sehari – hari pada organisasi – organisasi yang ada, dan tempat– tempat kerja
 Penggunaan teknologi informasi untuk kegiatan sosial, pengajaran dan bisnis, serta kegiatan– kegiatan lainnya.
 Kemampuan pertukaran data digital yang cepat dalam jarak yang jauh

Contoh dari Masyarakat Informasi
 Mailing List
 Chatting
 Friendster
Kelebihannya
Penerima manfaat mengindikasikan mereka yang mampu memahami berbagai dimensi dari dampak informasi dan oleh karenanya lebih mampu belajar untuk mendapatkan, menggunakan dan menyebarkan informasi ke lingkungan mereka. Rentetan cerita sukes muncul baik di kelompok usaha dan kelompok yang lebih luas yang mewakili kelompok dalam masyarakat informasi yang menikmati manfaat tertentu dari ICT. Kelompok kelompok ini mampu menggunakan peran ICT dalam konteks mereka sendiri yang berbeda dari kelompok lain.
Untuk bidang usaha, beragam inovasi dalam ICT secara intensif diteliti dengan fokus untuk mendapatkan keunggulan bersaing dari para rival. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan-perusahaan melancarkan strategi yang berkisar dari keunggulan dalam biaya, spesialisasi atau ceruk pasar baru, yang dijabarkan kedalam efisiensi operasional dan aktifitas-aktifitas unik. Untuk mencapai efisiensi operasional, perusahaan melaksanakan serangkaian program peningkatan kualitas, seperti Total Quality Management, Business Process Reengineering, Analisa Economic Value-Added, Activity-Based Management dan lainnya. Hanya dengan mengkombinasikan efesiensi operasional dengan aktifitas-aktifitas bisnis yang unik yang membedakan dari lainnya, baru perusahaan dapat menikmati keunggulan yang bertahan untuk waktu yang lama.
Diluar bidang bisnis, penetrasi ICT sangat berdampak pada sejumlah komunitas, khususnya negara-negara berkembang. Di bidang pendidikan, pembaruan dibidang sistem pendidikan menjadi mungkin dengan memperkenalkan komputer rumah sebagai media pelengkap untuk memperluas perolehan informasi bagi anak-anak.
Di bidang layanan publik, penggunaan sistem pajak online untuk melaporkan pajak tahunan dan pengembangan website otoritas pajak yang menyajikan informasi seputar sistem pajak di suatu negara memungkinan administrasi yang lebih efisien dan menghindari kemungkinan kecurangan yang mungkin dilakukan oleh petugas pajak dan pelaku potensial. Manfaat lain juga diterima di sektor pertanian, dimana informasi yang lebih baik diperoleh para petani dalam memperkirakan harga pasar dan menjamin terus tersedianya input dan jasa pertanian lainnya.
Kekurangannya
Pihak yang dirugikan juga muncul dari kelompok masyarakat yang sama sebagai hasil dari ketidakmampuan dalam mempertimbangkan lingkungan sosio-ekonomi dan politik pada saat kelompok tersebut mengimplementaskan inisiatif ICT. Hal itu menghalangi anggota masyarakat tertentu untuk menggunakan dan menerima ICT secara terbuka.
Di bidang bisnis, sebagai hasil dari tekanan ekonomi untuk selalu berada di atas, kompetisi yang ketat menghasilkan monopoli ketika suatu perusahaan menguasai infomasi yang terlalu banyak dari yang lain untuk berkompetisi. Situasi yang sama juga terjadi pada sektor pendidikan dimana terdapat risiko potensial akan penggunaan website yang tidak berwenang yang dilakukan oleh pelajar bahkan pengajar. Bagi pelajar di negara-negara berkembang, rasa penghormatan terhadap karya ilmiah orang lain masih rendah dibandingkan dengan teman-teman mereka di negara-negara maju.Pornografi anak juga menjadi perhatian utama di sektor pendidikan. Para pelajar dalam hal ini, diuntungkan dan juga dirugikan oleh ICT dalam konteks yang berbeda.
Era globalisasi saat ini mempengaruhi pola kehidupan masyarakat informasi (life styles), perubahan jabatan (changing careers), transaksi elektronik yang memerlukan undang-undang dan peraturan yang baru (changing regulators).
Pemahaman Masyarakat Terhadap Ilmu Penhetaguan dan Teknologi

Komunikasi IPTEK
Pada abad ke-17, Robert Boyle adalah salah satu ilmuwan pertama yang melakukan percobaan ilmiah untuk menguji hipotesisnya. Dia berasumsi bahwa masyarakat akan mempercayai suatu penemuan ilmiah baru apabila penemuan tersebut dapat divisualisasikan kepada masyarakat. Boyle kemudian mengundang beberapa orang ke laboratoriumnya dan menjelaskan penemuan ilmiahnya. Boyle meyakini bahwa sebuah percobaan ilmiah dapat sahih apabila masyarakat mempercayai apa yang mereka lihat, dan mereka dapat menguji hipotesis dan metodologi yang digunakan pada eksperimen ilmiah. Boyle juga berasumsi bahwa percobaan ilmiah yang dipresentasikan secara visual menghasilkan pengetahuan baru tidak hanya kepada yang menyaksikan, namun juga kepada lingkungan sosial yang lebih luas.
Komunikasi IPTEK terhadap masyarakat dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK merupakan subyek riset yang relatif baru di lingkungan akademis, namun berkembang untuk dipelajari lebih lanjut untuk mendukung proses pengambilan kebijakan publik. Pemahaman yang baik terhadap dinamika kompleksitas IPTEK dan interaksi IPTEK dengan masyarakat, berguna dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap IPTEK dan akhirnya berkembang menjadi suatu sistem pengelolaan dan kontrol sosial masyarakat terhadap IPTEK. Beberapa istilah telah digunakan dalam pendefinisian komunikasi IPTEK antara lain: pemahaman publik terhadap IPTEK, kesadaran publik terhadap IPTEK, dan difusi sosial terhadap IPTEK. Sejalan dengan waktu, tujuan utama komunikasi IPTEK berkaitan dengan tiga aspek utama. Pertama, aspek politik. Hasil akhir suatu inovasi IPTEK mempunyai spesifikasi tersendiri di dalamnya, yaitu terminologi, institusi, sistem verifikasi, dsb. Spesifikasi tersebut akhirnya membangun sebuah pembatas tidak terlihat antara IPTEK dengan masyarakat. Komunikasi IPTEK bertujuan untuk mencapai suatu keterkaitan antara masyarakat dengan IPTEK. Aspek kedua adalah aspek kognitif. Dalam komunikasi IPTEK, perangkat komunikasi atau penyampai informasi yang digunakan akan disesuaikan untuk menciptakan jaminan terjadinya pemahaman dan penerimaan masyarakat awam terhadap IPTEK. Sedangkan aspek ketiga adalah aspek kreativitas, yang membantu perkembangan kecerdasan dan kapabilitas masyarakat sehingga menghasilkan kemampuan dalam mengintegrasikan IPTEK ke kehidupan sehari-hari.
Teori Komunikasi IPTEK
Massimiano Bucchi, seorang ilmuwan sosiologi, menekankan pendekatan alternatif komunikasi IPTEK. Bucchi bergumen mengenai pentingnya penerjemahan linguistik dalam proses alih informasi dari ilmuwan kepada masyarakat. Dia memformulasikan suatu teorema yang disebut communication continuum (Gb.1), untuk memberikan argumentasi terhadap model linier komunikasi dimana penerima informasi bersikap pasif. Dia mengindentifikasikan
Bentuk-bentuk komunikasi IPTEK menjadi empat tingkatan utama.
Tingkatan pertama. Merupakan tingkatan dengan dimensi tertinggi, yaitu tingkatan Intraspesialistik yang merupakan bentuk komunikasi dan penyampaian infomrasi di antara ahli-ahli dalam bidang riset spesifik yang sama. Contohnya, artikel di sebuah jurnal ilmiah.
Tingkatan kedua, adalah tingkatan Interspesialistik, merupakan bentuk komunikasi antara ahli-ahli dalam suatu disiplin keilmuan yang sama, namun berbeda dalam topik riset. Contohnya, artikel interdisipliner dalam jurnal ilmiah.
Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan Pedagogik. Dalam tingkatan ini, teorema dan postulat suatu topik ilmiah telah berkembang maju dan dapat dikonsolidasikan menjadi sebuah kumpulan teorema dan postulat yang akurat.
Tingkatan keempat, yang merupakan tingkatan terakhir, adalah tingkatan Populer. Contoh yang cukup umum adalah artikel ilmiah singkat dalam surat kabar atau majalah umum, maupun film dokumenter ilmiah di saluran TV. Dalam tingkatan ini, bentuk komunikasi IPTEK disajikan ke dalam visualisasi gambar-gambar metafora dengan bahasa yang mudah dipahami publik.
continuity-model.
1. Communication Continuum
Presepsi Masyarakat terhadap IPTEK
IPTEK memainkan peran penting sebagai sebuah agen pembaharu di masyarakat. Sebagai bangsa yang bergerak ke arah ekonomi berbasis pengetahuan, dibandingkan ekonomi berbasis sumber daya alam sesuai dengan paradigma tekno-ekonomi, IPTEK menjadi landasan keberhasilan pembangunan ekonomi yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia yang kompetitif. Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. UU No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK mengamanatkan tanggung jawab penelitian bukan lagi monopoli pemerintah, tapi juga menuntut peran serta masyarakat. Sehingga, masyarakat pada akhirnya dituntut mempunyai wawasan memadai untuk memahami IPTEK. IPTEK akan berkembang secara cepat dan diskusi mengenai isu-isu yang timbul dari perkembangan tersebut sangat penting. Beberapa negara di belahan benua eropa telah mengalami berbagai tantangan dalam menangani isu-isu kontroversial, contohnya: rekayasa genetika. Negara-negara tersebut memperoleh pelajaran berharga dalam usahanya untuk memperkenalkan dan melibatkan masyarakat umum terhadap IPTEK. Masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan berargumen bahwa IPTEK sangat esensial untuk masyarakat yang berpendidikan lebih rendah, namun seperti yang diungkapkan Waldegrave, ”Some see science, and the method of science, as systematically destructive of everything which makes life worth living.”. Pendapat serupa diungkapkan oleh Carl Sagan, ”It is suicidal to create a society dependent upon S&T in which hardly anybody knows about S&T.”.
Dalam masyarakat yang dinamis, sikap dan pandangan lebih penting daripada proses penerimaan suatu informasi bernuansa IPTEK. Individu di dalam suatu komunitas masyarakat akan bersikap atau bereaksi terhadap suatu situasi dan kondisi sosial tergantung segi kualitas materi informasi IPTEK. Sehingga strategi komunikasi IPTEK mempunyai ruang lingkup lebih luas dan mencakup aspek interaksi antara masyarakat dengan IPTEK. Studi mengenai pendekatan dan indikator pemahaman masyarakat tentang IPTEK umumnya terdiri tiga unsur pokok yang saling berkaitan antara satu sama lain: ketertarikan, pengetahuan, dan perilaku (Gb. 2).
Indikator unsur ketertarikan bertujuan untuk mengukur hubungan masyarakat dengan perkembangan IPTEK. Indikator pengetahuan bertujuan untuk mengukur tingkatan pemahaman masyarakat terhadap perkembangan IPTEK. Indikator ini berkaitan dengan hubungan antara IPTEK dan media massa yang juga mengukur derajat keberhasilan komunikasi IPTEK terhadap masyarakat dan mengetahui sumber informasi yang paling sering digunakan masyarakat untuk mendapatkan informasi IPTEK, seperti TV, radio, koran, majalah, internet, museum, dll. Sedangkan indikator perilaku mencakup perilaku dan penerimaan masyarakat terhadap proses pendanaan suatu inovasi IPTEK serta presepsi masyarakat terhadap keuntungan dan resiko penerapan inovasi IPTEK tersebut. Namun studi-studi tersebut menghadapi kendala bagaimana mendesain langkah evaluasi dan interpretasi presepsi dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK, atau umumnya disebut budaya IPTEK. Terdapat beberapa model pendekatan yang berkembang untuk memahami presepsi dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK.
indikator-iptek.jpg
2. Indikator IPTEK
Model Komunikasi IPTEK
Model komunikasi IPTEK yang berkembang s.d. saat ini dikenal sebagai ”model difusi linier” atau juga dikenal sebagai ”model defisit” (Gb. 3), yang merupakan ciri khas masyarakat Anglo-Saxon dalam mempelajari komunikasi IPTEK. Model defisit berlandaskan hipotesis bahwa pengetahuan bernuansa IPTEK mempunyai parameter yang dapat mengukur seberapa banyak suatu informasi IPTEK dapat diserap oleh setiap individu. Model defisit juga mengasumsikan bahwa masyarakat adalah peserta pasif yang mempunyai knowledge gap dan sepatutnya diisi dengan informasi IPTEK. Model ini merupakan top-down model dimana pengetahuan ilmiah hanya berjalan satu arah, dari ilmuwan kepada masyarakat. Dengan demikian model ini merupakan model linier seperti yang biasa digunakan di masa lampau untuk menganalisa kemajuan IPTEK. Model defisit hanya dapat menjelaskan secara parsial kompleksitas pemahaman dan presepsi masyarakat terhadap IPTEK. Sehingga terdapat terdapat beberapa kelemahan subtansial, antara lain:
* Dengan memperlakukan masyarakat mempunyai respon pasif dalam pemahaman dan presepsi terhadap IPTEK, model defisit tidak dapat memberikan motivasi atau pengertian aktif-konstruktif dalam pengolahan informasi IPTEK terhadap masyarakat
* Model defisit tidak memperlakukan budaya IPTEK sebagai suatu proses dinamis dan sosial tapi lebih menekankan pada karakteristik individu penerima pengetahuan IPTEK. Bertolak belakang terhadap kenyataan bahwa pemahaman masyarakat terhadap IPTEK bergantung kepada konteks sosial dimana informasi IPTEK menjadi lebih operasional.
* Model defisit juga memperlakukan komunikasi IPTEK hanya sebagai alur komunikasi satu arah namun tidak memperhitungkan proses timbal balik yang dinamis.
Model defisit mendapat kritik dalam beberapa dekade belakangan. Sehingga, terdapat beberapa alternatif model pendekatan yang berkembang untuk melengkapi kekurangan model defisit, antara lain:
* Model kontekstual. Model ini sering digunakan dalam studi respon dan presepsi masyarakat terhadap resiko IPTEK, yang menekankan bahwa individu penerima informasi IPTEK bukan sebagai entitas pasif. Namun individu tersebut melakukan proses reinterpretasi dalam konteks budaya dan nilai yang berkembang di sekitarnya.
* Lay expertise model. Model ini mengedepankan peran kearifan lokal dan adat istiadat masyarakat yang beragam dalam interpretasi dan mendayagunakan informasi IPTEK.
* Model partisipasi masyarakat. Model ini melihat bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk memahami IPTEK disebabkan oleh wawasan dan pengertian yang berkembang di masyarakat akibat pengaruh budaya dan adat, daripada menyalahkan masyarakat secara langsung. Sehingga proses komunikasi IPTEK tidak hanya memberikan informasi IPTEK semata, namun lebih membangun pemikiran kritis yang memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi perkembangan IPTEK sesuai dengan relevansi sosial.
* Model jaring. Model ini menyoroti interaksi kompleks yang saling mempengaruhi antara komunikasi IPTEK di antara ilmuwan dan komunikasi IPTEK terhadap masyarakat.
model-defisit.jpg
3. Model defisit.
Budaya IPTEK
Ketika berbicara budaya IPTEK, terdapat tiga kemungkinan struktur linguistik dalam pengungkapannya, antara lain:
Budaya IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o Budaya yang diciptakan oleh IPTEK
o Budaya IPTEK itu sendiri
Budaya melalui IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o Budaya dengan cara IPTEK
o Budaya yang menyokong IPTEK
Budaya untuk IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o Budaya yang digerakkan untuk produksi IPTEK
o Budaya yang digerakkan untuk sosialisasi IPTEK
Pada poin terakhir juga terdapat dua kemungkinan,
o Difusi ilmiah dan pendidikan ilmuwan
o Bagian pendidikan yang tidak terkandung pada difusi ilmiah dan pendidikan ilmuwan. Contoh: sistem belajar-mengajar sekolah menengah, pendidikan sarjana, dan pendidikan untuk umum.

Perbedaan tersebut di atas tidak mencakup keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi antara masyarakat dengan topik IPTEK dalam suatu sistem kemasyarakatan, namun perbedaan tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang jelas terhadap kompleksitas semantik yang terlibat dalam pengungkapan budaya IPTEK dan fenomena yang disebut sebagai ”masyarakat ilmiah”. Budaya IPTEK sebagai suatu proses dinamis dapat dijelaskan sebagai apa yang disebut dengan spiral budaya IPTEK (Gb. 4). Sumbu horisontal menunjukkan waktu dan sumbu vertikal menunjukkan spasial, serta kategori masing-masing kuadran yang berjalan dinamis, searah jarum jam.



spiral-budaya-iptek.jpg
4. Spiral budaya IPTEK
Proses dimulai pada kuadran I yang menggambarkan proses produksi dan pertukaran informasi ilmiah di antara ilmuwan. Spiral kemudian bergerak ke kuadran II yang menggambarkan proses pendidikan dan pengajaran IPTEK terhadap ilmuwan, dan regenerasi ilmuwan baru. Selanjutnya pada kuadran ketiga yang memperlihatkan kesamaan tindakan dan tujuan dalam pendidikan untuk perkembangan IPTEK kepada masyarakat. Kuadran keempat yang merupakan akhir dari proses dinamis budaya IPTEK, menggambarkan popularisasi atau komunikasi IPTEK terhadap masyarakat. Setiap kuadran dapat diasosiasikan sebagai perkembangan dan evolusi proses dinamis budaya IPTEK yang mengandung tingkatan pemahaman suatu komunitas terhadap IPTEK.
Pada kuadran I, penyampai informasi dan target informasi adalah ilmuwan itu sendiri. Pada kuadran II, ilmuwan dan profesor adalah penyampai informasi dengan target informasi adalah peserta didik. Pada kuadran III, guru, ilmuwan, narator film dokumenter ilmiah bertindak sebagai penyampai informasi dengan target informasi tidak hanya peserta didik, namun juga masyarakat berusia muda. Sedangkan pada kuadran IV, jurnalis dan ilmuwan adalah penyampai informasi dengan target informasi adalah masyarakat luas. Dalam proses dinamis budaya IPTEK, spiral melengkapi siklus evolusi dengan kembali pada posisi sumbu horizontal semula namun tidak kembali tepat pada titik bergerak. Hal tersebut dikarenakan dinamisnya pemahaman masyarakat terhadap IPTEK yang dapat dianalogikan akan terus meningkat seiring dengan waktu. Sama halnya dengan peningkatan jumlah masyarakat dalam suatu komunitas sosial. Sehingga, setiap kuadran akan dimulai dengan pemahaman baru oleh penyampai informasi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.


Kesimpulan
Kunci yang penting dari jaringan teknologi dalam masyarakat informasi adalah teknologi membantu kita untuk membuat koneksi-koneksi baru. Koneksi-koneksi dimana tantangan tradisional menerima apa yang mungkin, dan ketika hal tersebut menjadi mungkin. Inovasi teknologi dapat menyokong secara nyata untuk memberikan akses yang lebih baik kepada layanan kesehatan, pendidikan, informasi dan pengetahuan, sebagaimana juga menawarkan variasi sarana yang lebih luas dimana masyarakat dapat berkomunikasi, sehingga mendukung promosi pemahaman yang luas dan peningkatan kualitas kehidupan warga dunia.
ICT telah memberikan dampak pada cara masyarakat berinteraksi dan membangun komunitas lewat jalan baru dalam memperoleh, menyimpan dan menyebarluaskan informasi kembali ke masyarakat.
Masyarakat informasi harus secara kontekstual mempertimbangkan informasi mana yang harus diekploitasi unutk memenuhi kebutuhan tujuan komunitas. Kemampuan untuk menyeimbangkan antara dua poin ini menentukan kemauan untuk menggunakan informasi yang relevan. Juga direkomendasikan dalam membantu masyarakat untuk mengacu pada sistem yang ada dengan teknologi yang realistis. Selain itu, juga harus ada mekanisme untuk mengukur seberapa baik ICT telah memenuhi target pengembangan.
Pada akhirnya, budaya IPTEK merupakan sebuah atribut tidak terpisahkan dalam suatu komunitas masyarakat. Karena penekanan utama komunikasi IPTEK adalah kepada proses bagaimana masyarakat dapat memahami IPTEK secara berkesinambungan, masyarakat perlu juga memahami bagaimana bentuk bahasa yang tepat dalam proses pengkomunikasian IPTEK oleh penyampai informasi kepada mereka. Masyarakat melakukan interpretasi terhadap informasi IPTEK disesuaikan dengan pengaruh dari dalam diri setiap individu –tingkat pendidikan, tingkat ekonomi- dan pengaruh dari lingkungan -relevansi sosial dan struktur sosial- yang mempengaruhi seberapa cepat dan akurat informasi IPTEK dapat diterima sesuai dengan tujuannya. Sehingga diperlukan tahapan pengembangan mengenai bagaimana bentuk dan mekanisme komunikasi IPTEK terhadap masyarakat majemuk secara efektif dan efisien yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan konteks budaya yang berkembang di masing-masing tatanan masyarakat.










Daftar Pustaka
Selengkapnya...............

Selengkapnya..............



OPINI DEMOKRASI DI INDONESIA

Demokrasi Membutuhkan Ekonomi

PENDAPAT yang umum berlaku adalah bahwa negara miskin tidak akan berhasil mengembangkan demokrasi (India dapat dikatakan sebagai kekecualian). Tentu saja beberapa negara miskin berupaya untuk mengembangkan demokrasi, namun suatu negara yang mengembangkan demokrasi pada saat tingkat pembangunannya rendah hampir dapat dipastikan akan mengalami kegagalan.
Demokrasi untuk berkembang membutuhkan dukungan ekonomi. Bagi negara berkembang, seperti Indonesia, melakukan konsolidasi demokrasi yang sebenarnya (genuine democracy) merupakan tantangan terpenting dan sekaligus tersulit. Penjelasan sederhana dari keberhasilan konsolidasi di banyak negara adalah dicirikan oleh dukungan dari keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Bagi Indonesia yang sedang dalam tahapan konsolidasi demokrasi maka perkembangan ekonomi yang lebih baik dan lebih cepat akan mengarahkan kepada keberhasilan berjalannya demokrasi. Namun, sebaliknya, stagnasi ekonomi memastikan akan gagalnya demokrasi.
Selengkapnya..............................

Makalah Nasionalisme

KONSEPSI PENDAYAGUNAAN TENAGA PAKAR TEKNOLOGI DENGAN MENGATASI BRAIN DRAIN UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA


PENDAHULUAN

Fenomena Brain Drain telah menjadi sebuah fakta yang harus dihadapi oleh negara-negara dunia, terutama dunia ketiga termasuk Indonesia. Saat ini banyak kalangan menyebut istilah “Brain Drain” dalam berbagai kesempatan, umumnya dilihat dari sudut pandang migrasi internasional, sebetulnya fenomena Brain Drain ini bukan merupakan masalah baru namun bergulir ke Indonesia sejak dekade 1980. Fenomena “Brain Drain” yang dapat dipahami sebagai “migrasinya para ilmuwan, para pakar Iptek yang memiliki talenta tinggi dan terlatih, ke negara lain. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di negara lain seperti Singapura, Taiwan, Malaysia dan India. Timbulnya gejala “Brain Drain” disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal, antara lain pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang belum memadahi.
Apabila dianalisis penyebab terjadinya Brain Drain dan dikaitkan dengan teori Hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham H. Maslow, beberapa alasan yang perlu mendapat perhatian adalah kebutuhan materi dan kebutuhan aktualisasi diri. Kedua kebutuhan tersebut berada pada posisi berkebalikan, yaitu kebutuhan materi pada posisi paling dasar sedangkan kebutuhan aktualisasi diri berada pada posisi paling atas. Bila dikaitkan dengan perspektif Bela Negara (rasa kebangsaan/nasionalisme) yang merupakan salah satu komponen pembangunan pertahanan negara, maka timbul pertanyaan, apakah individu-individu pelaku Brain Drain ini kurang memiliki kesadaran terhadap bela negara ? atau pemerintah sendiri yang kurang memberikan peluang pada warga negaranya untuk maju dan berkembang mengaktualisasikan diri meningkatkan kesejahteraan yang lebih baik?
Dalam perspektif pertahanan negara, menurut undang-undang pertahanan negara nomor 3 tahun 2002 pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman non militer menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Pelaku Brain Drain adalah Sumber Daya Manusia yang memiliki keunggulan dan kepakaran ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) merupakan potensi modal intelektual yang harus diselamatkan dan diberdayakan untuk kepentingan bangsa dan negara karena merupakan salah satu unsur utama dalam mengatasi ancaman non militer.
Berkaitan dengan masalah nasionalisme yang merupakan dimensi dasar dalam pembentukan SDM pertahanan sebagai komponen pembangunan sistem pertahanan negara, Departemen Pertahanan dalam hal ini Balitbang Dephan berkepentingan untuk mengkaji dan meneliti permasalahan “Brain Drain”. Tujuan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan (Litjianbang) masalah Brain Drain adalah menganalisis penyebab terjadinya Brain Drain dari aspek Ketahanan Nasional, yaitu Tri Gatra (aspek Demografi, Geografi dan sumber daya alam) serta aspek astra gatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan) untuk dapat memberikan solusi pemecahan masalah yang dirumuskan dalam ”Konsepsi pendayagunaan Tenaga Pakar Teknologi dengan mengatasi Brain Drain untuk mendukung pertahanan negara”.

Pemahaman tentang Brain Drain
.
Brain Drain adalah suatu fenomena di era globalisasi, yaitu berpindahnya para pakar atau kaum intelektual terutama para tenaga pengajar di perguruan tinggi dan peneliti pada lembaga riset, ke negara lain. Akibat perpindahan para pakar tersebut, secara langsung dan tidak langsung negara dirugikan baik materiil dan non materiil. Pada umumnya para tenaga pengajar (dosen) dan tenaga peneliti (periset) dalam meningkatkan kemampuan dan keahliannya melalui pendanaan dari anggaran pemerintah baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Setelah menyelesaikan studi di luar negeri, para pakar tersebut telah mempunyai pengalaman dan keahlian serta status karir dalam bidang pendidikan lebih meningkat dengan menyandang tambahan gelar Doktor atau PhD. Pada saat ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan dalam negeri, para pakar atau dosen dengan tambahan gelar yang didapat sangat diharapkan untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional terutama di perguruan tinggi. Komitmen pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan sudah terlihat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Guru dan Dosen yang antara lain adanya usaha sertifikasi dosen dan jenjang pendidikan dosen minimal S2 hingga tahun 2010 ini.
Istilah ”Brain Drain” yang dapat dipahami sebagai migrasinya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas atau (Human intelektual capital) dalam istilah ekstrimnya adalah hengkangnya otak-otak cemerlang merupakan suatu fenomena di era globalisasi, yaitu berpidahnya para pakar/ kaum intelektual (peneliti, pengajar, dsb). Untuk berkiprah, mengembangkan karir dan mengaplikasikan keahliannya di negara lain atau negara asal para brain drainer menuntut ilmu. Negara Indonesia telah mengirim tenaga-tenaga pakar ke luar negeri untuk meningkatkan kualitas keahlian dengan melanjutkan pendidikan pada perguruan tinggi melalui program beasiswa baik dari sumber dana dalam negeri maupun luar negeri (kerja sama). Namun setelah kembali ke Indonesia berbagai permasalahan yang dihadapi, antara lain masalah kesejahteraan, fasilitas pertumbuhan industri yang belum memadai serta perkembangan ekonomi yang tidak menentu.
Hal tersebut berakibat pada goyahnya komitmen para pakar untuk mengembangkan keahlian dan keterampilannya di Indonesia karena tergoda dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan yang ditawarkan oleh negara lain. Disinilah awal terjadinya gejala yang disebut ”fenomena brain drain”. Dampak yang dapat dirasakan adalah berkurangnya tenaga pakar yang berkualitas, terutama tenaga pengajar (di lingkungan perguruan tinggi) dan tenaga peneliti/periset (di lingkungan lembaga Litbang).

Hasil Pengumpulan Data.

Indonesia sebagai negara berkembang pada dasarnya juga menghadapi persoalan Brain Drain, Dampak dari globalisasi ”hilangnya” batas negara sebagai
akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu penyebab terjadinya Brain Drain. Tanpa upaya menanggulangi Brain Drain maka dampak negatif akan lebih dominan dibandingkan dampak positif. Untuk itu, walaupun belum dilakukan penelitian yang mendalam, hasil pengamatan fenomena Brain Drain yang terjadi di Indonesia dan pengumpulan data yang dilakukan ada baiknya untuk dipahami agar dapat dicarikan jalan keluar yang tepat. Berdasarkan data tidak kembalinya beberapa dosen ITB yang ditugaskan sekolah diluar negeri, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kecenderungan khusus bidang keilmuan yang berpotensi menyebabkan terjadinya Brain Drain. Bidang keilmuan science (soft engineering) juga mempunyai potensi sama dengan bidang keilmuan engineering (hard science). Berikut ini dicoba diuraikan secara umum fenomena Brain Drain yang terjadi di Indonesia melalui wawancara singkat dan hasil pengumpulan data pada obyek kunjungan kerja :
a. Banyak terjadi pada karya siswa yang belum “mature” yang kemudian mengalami “gegar budaya” ketika bersekolah diluar negeri lulusan SMA yang kemudian kembali ke Indonesia dan mengalami hal-hal yang “jauh berbeda” dengan ketika bersekolah diluar negeri (pendapatan, fasilitas kerja dsb).
b. Tawaran beasiswa dari Negara-negara maju terutama pada bidang-bidang yang “ditinggalkan” oleh warganya. Dengan skema beasiswa dan kontrak kerja, maka diharapkan dapat mengisi pasar kerja yang berlebih karena “ditinggalkan” oleh warganya.
c. Orang Dewasa yang mendapatkan “peluang” atau kesempatan akibat kemudahan yang diberikan Negara maju atau upaya Brain-Gain yang merupakan kebalikan dari Brain Drain.
d. Tawaran dari Negara maju pada orang Indonesia setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan dinegara maju melalui kemudahan (permanent residensi, kesempatan/peluang kerja karena banyak bidang yang “ditinggalkan” oleh warga Negara tersebut). Ketidakpuasan yang dihadapi setelah pulang ke Indonesia dalam hal penghasilan, ketersedia peralatan, birokrasi yang dianggap menyulitkan, suasana kerja yang tidak kondusif (kum penelitian yang diklaim atasan), dan sebagainya keinginan untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Alasan keluarga (nikah dengan warga Negara asing) . Pada sisi lain, beberapa hal yang perlu diperhatikan yang mungkin perlu diperkuat dalam menghadapi fenomena Brain Drain seperti misalnya :

1) Budaya. Tidak banyak suku bangsa Indonesia yang mempunyai budaya “merantau” tetapi ada beberapa suku yang memang mempunyai budaya merantau seperti (Minang, Bugis, Manado). Hal ini berbeda dengan warga China, India atau Pakistan yang memang tujuan utama mereka sekolah adalah “pindah” dari negaranya sehingga biasanya hal pertama yang dilakukan setiba mereka diluar negeri adalah mengajukan permohonan untuk mendapatkan permanent residensi.
2) Perkembangan ICT. Beberapa bidang keilmuan, berkembang pesatnya ICT mengakibatkan pasar kerja bagi orang Indonesia yang mempunyai keahlian khusus (misalnya) web-designer) terbuka lebar sehingga dapat bekerja didalam negeri dengan gaji luar negeri. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa mahasiswa ITB yang melayani permintaan/pekerjaan dari luar negeri dari rumah kost dan megirim hasil pekerjaan dengan menggunakan jaringan internet di warnet.
3) Jejaring Keilmuan. Keterbatasan informasi diantara para ilmuwan atau tenaga ahli terhadap pasar kerja dan ditambah mekanisme rekruitmen yang vertical (dari bawah keatas) dan sedikit peluang untuk rekruitmen horizontal kadang menghambat terjadinya “perputaran” tenaga kerja didalam negeri. Kasus PTDI yang tenaga ahlinya hengkang keluar negeri (Boeing, Air Bus dsb) ternyata pada sisi lain memanfaatkan jejaring keilmuan sebagian dapat bekerja diperusahaan-perusahaan didalam negeri (Semen Kupang dsb).
4) Peningkatan Anggaran Penelitian. Meningkatnya anggaran pendidikan menimbulkan gairah bagi para ilmuwan dalam negeri untuk mengembangkan kreatifitasnya termasuk dalam peningkatan kesejahteraan peneliti. Anggaran penelitian yang meningkat ini dapat dimanfaatkan antara lain untuk kerjasama penelitian dengan partner diluar negeri termasuk pemanfaatan laboratorium universitas partner diluar negeri.

Penghargaan pada penelitian atau status “terhormat” pada jabatan peneliti atau dosen pada suatu institusi yang mempunyai reputasi internasional mengurangi terjadinya Brain Drain. Hal ini mungkin signifikan dibandingkan dengan factor kesejahteraan yang lebih dominant dicari, tetapi kombinasi dengan factor budaya yang tidak merantau dapat berpengaruh terhadap pengurangan angka Brain Drain. Beberapa hal yang diuraikan diatas adalah pemikiran singkat berdasarkan pengalaman dan pengamatan tidak terstruktur terhadap fenomena Brain Drain yang terjadi selama ini. Tentunya masih banyak hal lain yang harus dipelajari termasuk kesuksesan Negara-negara berkembang dan Negara maju dalam menghadapi Brain Drain seperti yang telah diuraikan pada uraian sebelumnya.

Dalam istilah penelitian, fenomena Brain Drain belum berdampak secara signifikan, sebagai contoh di ITS sendiri istilah Brain Drain belum familiar karena di ITS tenaga dosen yang melaksanakan pendidikan diluar negeri, setelah selesai dan memperoleh keahlian dan gelar, rata-rata kembali mengabdi dan berprofesi di ITS. Namun tetap perlu mendapat perhatian karena menimpa beberapa perguruan tinggi (ITB, UGM, UI, Univ Lampung dsb) ( serta beberapa lembaga riset (ristek/BPPT, LIPI dll).

Dari tanggapan yang dikemukakan oleh Tim Universitas Udayana dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1) Fenomena Brain Drain merupakan dampak proses globalisasi yang melanda seluruh dunia, yang menyebabkan para tenaga ahli dan terdidik dari berbagai belahan dunia berimigrasi dari satu Negara kenegara lain. Hal ini terjadi terutama negara-negara yang memberikan keunggulan dan kesempatan berkarir (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dll). Penyebab secara obyektif adalah factor yang berhubungan dengan kebijakan yang diberikan oleh
Negara asal maupun Negara yang menjadi tujuan pendidikan, serta terkait erat dengan karakteristik Negara tersebut, misalnya, lemahnya kebijakan terhadap tradisi keilmuan (suasana ilmiah kurang
kondusif). Sedangkan penyebab secara subyektif terbatas pada motif-motif personal dari yang bersangkutan (para Brain Drainer).

2) Di Universitas Udayana, sebagai layaknya lembaga pendidikan Tinggi yang lain, juga memiliki program Bea siswa bagi tenaga pengajar (dosen) untuk meningkatkan kualitas diri antara lain melalui pendidikan maupun kegiatan penelitian, baik didalam maupun diluar negeri, terutama adalah Universitas/Lembaga pendidikan diluar negeri, yaitu (Australia, Inggris, Amerika Serikat, Singapura) mengingat Universitas unggulan didalam negeri sebagai produsen utama tenaga ahli masih sangat minim. Sejak tahun 1980 an Universitas Udayana sudah banyak yang melaksanakan pendidikan diluar negeri, namun setelah masa kontrak masa pendidikan selesai, mereka kembali. Namun ditahun 2000 an ada beberapa tenaga ahli yang masih menetap diluar negeri, Australia 2 orang dan Amerika Serikat 3 orang karena memang keahliannya masih dibutuhkan terkait dengan program penelitian yang diselenggarakan Negara tersebut. Walaupun mereka masih berkarya dinegara lain, pemikirannya masih bisa disumbangkan melalui komunikasi elektronik (email) dan gagasan-gagasan yang dituangkan dalam tulisan. Hal ini disebabkan karena kurang mencukupinya fasilitas dan dana untuk melakukan riset.
3) Beberapa hal yang disarankan dari Universita Udayana untuk dijadikan data analisis : kondisi riil didalam negeri terutama anggaran riset masih minim, kurangnya jaminan sosial dan kenyamanan hidup bagi para ahli dan keluarga, kurangnya prospek dan kesempatan berkarir, masih adanya pendeskreditan pendapatan dan fasilitas antara tenaga ahli asing dengan Indonesia walaupun berkualifikasi keahlian sama. Untuk itu Indonesia mempunyai tugas dan pekerjaan rumah yang utama, yaitu persiapan pra kondisi yang ”matang” dengan pembenahan berbagai aspek termasuk kondisi ekonomi, politik, sosial dsb secara total dan terpadu, sehingga Indonesia dinyatakan telah ”siap” menyambut kehadiran para tenaga terdidik untuk berkarya di Indonesia sehingga fenomena Brain Drain tidak akan sampai meluas. Kalau dalam konteks pertahanan negara, fenomena Brain Drain merupakan ”tanda-tanda” belum ancaman sehingga konsepsi penanggulangannya akan berbeda.





Pembahasan dan Analisis

a. Brain Drain Dalam Perspektif Pertahanan Negara.
Menyimak pepatah China yang intinya menyatakan ”Kalau bangsa mau maju dan sukses yang harus dilakukan adalah membangun sumber daya manusia (SDM) ”. Negara Indonesia telah menyatakan komitmen membangun SDM yang telah ditegaskan dalam alinea IV, pembukaan UUD 1945 yang merupakan tujuan negara antara lain, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selanjutnya dipertegas pada pasal 28c ayat (1) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia. Dari kedua pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa setiap warga negara Indonesia berhak meningkatkan kualitas melalui upaya pendidikan dan pemanfaatan IPTEK, namun hasil dari pendidikan tersebut yang berupa keahlian dan kepakaran harus dapat diaplikasikan disamping untuk kepentingan induvidual adalah untuk kepentingan kesejahteraan bangsa dan negara.
Rasa bela negara yang dapat dipahami sebagai rasa cinta tanah air, meyakini nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila yang pada Pancasila dan kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara, yang diartikan sebagai rasa nasionalisme bangsa, dalam konteks pertahanan negara diartikan sebagai rasa kepedulian terhadap masalah pertahanan negara (sense of defence) hanya tertanam dan melekat pada seluruh warga Indonesia, seperti dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (3) dan UU nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, pasal 9 ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Jelas, siapapun mereka adalah warga negara Indonesia yang harus memiliki kesadaran bela negara dan rasa nasionalisme bangsa.
Bila mengamati uraian yang telah dikemukakan, fenomena Brain Drain sangat erat kaitannya dengan masalah kompensasi berupa materi, masalah penghargaan diri, dan masalah aktualisasi diri. Apabila dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh H.A. Maslow tentang ”Hierarchy of needs”, unsur materiil untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat phisik, penghargaan diri merupakan kebutuhan untuk dihargai dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk diakui orang lain tentang kemampuan mencapai sukses.
Hal tersebut didorong keinginan untuk memperoleh kehidupan dan jaminan sosial lebih baik. Brain Drain dapat diidentifikasi dari dua faktor, yaitu internal dan faktor eksternal yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Faktor Internal.
a) Kurangnya rasa percaya diri berada dinegara sendiri.
b) Kurangnya memiliki komitmen spiritual untuk memahami makna kehidupan.
c) Kurangnya komitmen emosional untuk memiliki rasa nasionalisme/ wawasan kebangsaan dan bela negara.
d) Hanya mengandalkan komitmen intelektual yang berorientasi pada materi.
e) Motivasi rendah.

2) Faktor Eksternal.
a) Masih rendahnya imbalan gaji/kesejahteraan.
b) Masih minimnya fasilitas untuk mengembangkan keahliannya (laboratorium, alat dan peralatan dsb).
c) Kurangnya penghargaan diri dan kesempatan pendidikan lanjutan.
d) Kondisi ekonomi kurang kondusif dan tidak kunjung membaik.
e) Adanya perdagangan bebas.
f) Masih rendahnya anggaran riset (penelitian).
g) Lemahnya kebijakan yang diberikan kepada ilmuwan yang menuntut ilmu diluar negeri (beasiswa).


b. Fenomena Brain Drain di Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia ? Warga negara Indonesia yang mendapat kesempatan menempuh pendidikan diluar negeri dengan beasiswa, pada dasarnya adalah SDM terpilih dan merupakan aset negara (human capital). Karena keunggulannya SDM tersebut mendapat kesempatan untuk tinggal lebih lama diluar negeri dengan tawaran pendidikan lanjutan (continued educational) atau bekerja diperusahaan. Pengalaman bekerja secara profesional tentunya didorong oleh keinginan dan kepentingan yang bersifat asasi, yaitu memperoleh kehidupan, jaminan sosial dan masa depan yang lebih baik. Kasus semacam ini tidak hanya melanda SDM yang intelektual dan bertalenta saja namun juga para pekerja kasar, seperti tenaga kerja yang saat ini melaju dari Indonesia ke negara-negara timur tengah, Malaysia dan hongkong. Motivasi para pekerja ini adalah memperoleh kehidupan yang lebih baik, gaji yang lebih besar memperoleh jaminan sosial yang lebih baik dan dapat menghidupi keluarganya ditanah air. Untuk para tenaga terdidik (intelektual dan bertalenta) motivasinya sama, terlebih-lebih sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan sosial, ekonomi dan budaya Indonesia, banyak tenaga kerja Indonesia yang keluar negeri, tujuannya kenegara-negara maju atau yang sedang membangun yang cenderung menawarkan berbagai peluang berkarier dan peningkatan kesejahteraan.
Dari analisis faktor internal dan faktor eksternal perlu dipertimbangkan hal-hal yang terkait dengan faktor tersebut, misalnya :
- Pemerintah kurang menghargai gagasan/ide para pakar/tenaga peneliti, terbukti pemerintah belum memiliki kebijakan sektor kreatif bagi para peneliti maupun pengajar.
- Pemerintah kurang komitmen terhadap kebijakan bidang pendidikan yang selalu berubah, sehingga berdampak terhadap pelaksanaan program pendidikan yang belum berpihak pada masyarakat kurang mampu.

Konsepsi Pendayagunaan Tenaga Pakar Teknologi Dengan Mengatasi Brain Drain untuk Mendukung Pertahanan Negara.

a. Kebijakan.
Dalam rangka mendukung pertahanan negara melalui pendayagunaan Tenaga Pakar Teknologi dengan mengatasi Brain Drain, serta mempertimbangkan faktor-faktor penyebab dan dampaknya, maka kebijakan yang dirumuskan adalah sebagai berikut :
” Terwujudnya pendayagunaan Tenaga Pakar Teknologi dengan mengatasi fenomena Brain Drain melalui iklim ekonomi dan pengembangan iptek yang kondusif, pengaturan kembali peraturan perundang-undangan serta membangun dan meningkatkan komitmen rasa kesadaran Bela Negara dan Nasionalisme Bangsa dalam rangka mendukung pertahanan negara”.
1) Pengembangan jaringan ”networking” para pakar Indonesia yang berada diluar negeri, dengan membuka suatu jaringan informasi dan komunikasi, pemantauan dan pembukaan situs (website) untuk membentuk networking antar para pakar Indonesia dan para pakar asing untuk meningkatkan kemampuan iptek.
2) Mendirikan Universitas-universitas elit yang dapat bersaing dengan universitas tingkat internasional.
3) Meningkatkan hubungan bilateral serta mengimplementasikan rancang bangun pendidikan yang efektif dan terukur melalui program nasional dan pelatihan luar negeri yang lebih terarah dan terencana.
4) Menciptakan sistem transfer ilmu para pelaku Brain Drain melalui perkuliahan khusus, mendatangi seminar nasional, diskusi secara langsung serta menjadi penghubung ilmuwan lokal dan internasional.
5) Membangun kepemimpinan nasional yang terarahkan terhadap komunitas iptek nasional yang dapat menyokong terciptanya pengembangan kapasitas ilmu secara internal dan eksternal.
6) Mengurangi dominasi campur tangan pemerintah atas pengelolaan institusi-institusi swasta.
7) Mempercepat proses rancangan undang-undang tentang pengabdian sesuai profesi dan Rancangan undang-undang tentang komponen cadangan menjadi undang-undang.
8) Merumuskan implementasi tata nilai budaya Indonesia sesuai dengan nilai-nilai pancasila untuk meningkatkan kesadaran Bela Negara dan Rasa Nasionalisme Bangsa terutama pada jenjang perguruan tinggi.
9) Filter terhadap dampak negatif akibat arus globalisasi terutama yang berkaitan dengan migrasinya para tenaga pakar yang bertalenta tinggi dalam rangka pembangunan komponen pertahanan negara.

b. Strategi pendayagunaan.
1) Pembangunan dan pengembangan iklim ekonomi dan iptek yang kondusif dengan berwawasan dan komitmen dalam pengembangan sumber daya manusia (Human Capital) yang berorientasi kepada setiap dan seluruh warga negara Indonesia agar Indonesia secara cepat dan efektif mengalami transformasi menjadi negara maju, aman, makmur dan sejahtera. Kunci dari upaya transformasi ini adalah pendidikan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2) Mengatur kembali peraturan perundang-undangan tentang karya siswa (pegawai yang melaksanakan pendidikan melalui beasiswa) terutama pendidikan luar negeri melalui inventarisasi, koordinasi dengan pihak-pihak terkait, penyempurnaan dan pembuatan (regulasi), sosialisasi, impelementasi, pengawasan dan penindakan untuk penegakkan hukum.
3) Membangun dan meningkatkan komitmen rasa kesadaran Bela Negara dan Nasionalisme bangsa keseluruh lapisan masyarakat terutama lembaga pendidikan dan lembaga litbang, mengingat masalah Brain Drain dapat dikategorikan sebagai ancaman non militer bersifatmulti dimensional yang disebabkan permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan.

c. Upaya.
1) Memicu produktifitas pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lingkungan makro ekonomi yang dinamis dan kondusif untuk menarik investasi baik domestik maupun asing.
2) Membangun industri nasional, pusat-pusat bisnis dan perusahaan swasta berteknologi tinggi dengan menarik kembali (Brain Gain) para ilmuwan yang telah bekerja diluar negeri dan memberikan imbalan gaji yang layak. (kompensasi).
3) Meningkatkan anggaran untuk pendidikan dan riset, sehingga dapat membangun laboratorium yang menunjang kegiatan penelitian ( pengembangan IT, dsb).









































Kesimpulan.

a. Migrasi Human Capital yang memiliki talenta tinggi merupakan permasalahan yang memicu fenomena Brain Drain. Brain Drain yang menghalangi negara-negara berkembang mencapai kemajuan, tetapi menyebabkan penderitaan dan kerugian social ekonomi yang besar. Di Indonesia fenomena Brain Drain belum signifikan dibandingkan dengan Negara-negara lain, seperti Taiwan, Singapura, India dan Negara Eropa lainnya. Faktor dominan terjadinya Brain Drain adalah kesejahteraan (kompensasi dan penghargaan) yang merupakan unsur dasar dalam pembangunan ekonomi bangsa.

b. Dalam konteks pertahanan negara, fenomena brain drain dikategorikan ancaman non militer, walaupun belum ada pengertian yang baku karena secara konseptual tidak didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara. Masalah brain drain dikategorikan sebagai ancaman non militer bersifat multidimensional yang disebabkan permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan yang sangat erat kaitannya dengan bela negara, yaitu rasa cinta tanah air, meyakini nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila Pancasila dan kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara.

c. Masalah Brain Drain, disamping menimbulkan dampak negatif seperti : berkurangnya kapasitas produksi karena kekurangan tenaga ahli, berkurangnya dukungan masyarakat untuk pendidikan tinggi dan penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan persoalan lokal, namun terdapat dampak positif, antara lain : terjadinya aliran Iptek serta kerja sama riset dan pendidikan, peningkatan insentif i serta peningkatan keterkaitan dengan institusi riset asing dll.
Untuk itu pemerintah harus menyikapi secara bijaksana, dengan mengeliminir dampak negatif dan mendayagunakan dampak positif sehingga Brain Drain tidak meluas (menjadi suatu ancaman).

d. Dalam rangka pendayagunaan tenaga pakar teknologi dengan mengatasi Brain Drain untuk mendukung pertahanan negara, kebijakan yang telah dirumuskan adalah terwujudnya pendayagunaan tenaga pakar teknologi dengan mengatasi fenomena Brain Drain serta mendukung terciptanya iklim ekonomi dan pengembangan Iptek yang lebih kondusif, pengaturan kembali peraturan perundang-undangan serta membangun komitmen rasa kesadaran Bela Negara dan Nasionalisme Bangsa.





Saran

a. Perlu ditinjau kembali kebijakan pemerintah terhadap pengaturan para ilmuwan /kaum cendekiawan yang mengikuti pendidikan ke luar negeri, terutama bagi yang dibiayai dari negara (beasiswa), mengingat lemahnya peraturan pemerintah serta sanksi yang diberikan kepada para ilmuwan menyebabkan Brain Drain dapat berkembang.
b. Perlu ditinjau kembali kebijakan pemerintah tentang kompensasi atau imbalan gaji dan penyediaan fasilitas bagi SDM yang memiliki kepakaran / ilmuwan yang bertalenta tinggi baik pada lembaga pendidikan maupun pada lembaga Litbang, penghargaan yang layak disesuaikan dengan jenjang pendidikan, keahian dan prestasi kerja, sehingga tidak ada diskriminatif gaji.





































DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman Fathoni, H.M.Si. Prof. DR, ” Manajemen Sumber Daya Manusia”, Rineka Cipta, Jakarta, 2006.

Ary H. Gunawan, ”Administrasi Sekolah (Administrasi Pendidikan Mikro)”, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.

Bari, Upendra, ”Law and State Regilated Capitalisme in India” dalam ”Capitalist Development”, 1999.

Constable, Pamela, 2000, India “Brain Drain Eases off Washington Post Foreight Service”, 2005

Fais, Pan Muhammad “ Membangkitkan “Political will” pemerintah disektor pendidikan melalui instrument Hukum”, Jakarta 2004.

Khadrin, Binod, “ The Migration of Knowledge Workers Second Generation Effects Of Indis’s Brain Drain, sage publication, New Delhi 2005.

M. Alfian Dharmawan, “Dilema Antara Menerima Posisi atau MEraih Peran” dalam “Mahasiswa dan Masa Depan Politik Indonesia”, Yogyakarta 2005.

Sam M. Chan Dan Tuti.T Sam, ” Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah”, Jakarta Grafindo Persada, 2006.

Tim Kompas, ” India, Bangkitnya Raksasa Baru”, Jakarta, 2007

Harjono Djojodihardjo, ” Pemikiran Ringkas Mengenai Tenaga Terdidik ke Luar Negeri”, Jakarta 2006

Zuhal, Prof. Dr. Ir. M.Sc, ” Visi Iptek Memasuki Millenium III ”, Universitas Indonesia, 2003

OPINI TENTANG NASIONALISME

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Referensi Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Selengkapnya.........

Potret Nasionalisme Bangsa Indonesia Masa Lalu dan Masa Kini
Oleh : Nina Herlina Lubis
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran

Nasionalisme menurut Kohn (1961:11) adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Secara etimologis, kata nation berasal dari kata bahasa Latin natio, yang berakar pada kata nascor 'saya lahir'. Pada masa Kekaisaran Romawi, kata natio dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kemudian, pada masa Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas. Selanjutnya, pada masa Revolusi Perancis, Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale (Dewan Nasional) yang menunjuk kepada semua kelas yang memiliki hak sama dalam berpolitik. Akhirnya, kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara (Amir, 2004).
selengkapnya..........

Sekilas Nasionalisme Kita
Oleh: Hidayat Banjar

Gagasan nasionalisme yang berkembang di Indonesia seharusnya tidak dipahami hanya dari sudut perkembangan objektif semata, tetapi juga dalam ruang politik pembentukan negara republik dan kebutuhan survival sebuah negara baru dalam pergaulan internasional. Tidak dapat dimungkiri, saat terbentuk republik bernama Indonesia, konteks sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pemikiran dan ideologi manusia Indonesia yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau sekuler.

Selain itu, kekuatan-kekuatan politik yang ada juga mengusung beragam paham seperti sosialisme, Islamisme, marhaenisme, dan komunisme, termasuk kelompok-kelompok etnis, keturunan Tionghoa dan Arab. Situasinya bisa dibayangkan seperti keramaian pasar malam yang menawarkan beragam paham, kepentingan, dan gagasan.
Selengkapnya........

Oleh ALIF LUKMANUL HAKIM
Penulis, Asisten Dosen di Fakultas Filsafat UGM. Dosen di Akademi Manajemen Putra Jaya Yogyakarta.

Substansi nasionalisme Indonesia memiliki dua unsur. Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian, penjajahan, dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi serta dalam Pembukaan UUD 1945.
selengkapnya......

Oleh: Triyono Lukmantoro
Pengajar Sosiologi Komunikasi
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Kondisi tubuh Ketua DewanWasit Indonesiadalam Kejuaraan Karate Asia Donald Luther Kolopita demikian mengenaskan. Matamerah, luka lebam, tulang patah, dan kemaluannya membengkak.

Tanpa tahu apa-apa, Donalddianiaya oleh oknum polisi Malaysia.Peristiwa tragis itu menimbulkan keprihatinan semua pihak. Kalangan pejabattinggi kita menyatakan keprihatinan mereka. Tidak kalah tegas adalah responsyang diberikan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Adhyaksa Dault yangmenyatakan kejadian itu menjadikan rasa nasionalisme kita bangkit.

Seluruh kejadian itu kitaketahui dari pemberitaan media massa.Reaksi masif yang berisi kecaman, kutukan, dan luapan nasionalisme pun denganseketika mencuat dengan kencang. Begitulah, media memang memiliki kekuatan yangefektif dalam membangkitkan nasionalisme, terlebih lagi jika martabat dankedaulatan Indonesiasedang diserang oleh bangsa asing.
selengkapnya......

SG THE BEST